Harapan Itu Menggantung di Teras Negeri
Di sebuah pulau kecil di
wilayah terluar Indonesia, jauh dari jangkauan sinyal dan fasilitas rumah
sakit, sebuah paket berisi obat-obatan dan alat kesehatan harus tiba tepat waktu.
Namun tak selalu cuaca bisa dijadikan sahabat, kadangkala kurir JNE harus bepacu
dengan waktu dan menghadapi kerasnya alam demi membawa sebuah paket harapan
penyelamat jiwa.
![]() |
Dokumentasi pribadi di Puskesmas Karatung tahun 2015 |
Namaku Syifa, seorang bidan muda yang saat itu baru lulus dari bangku kuliah kebidanan. Belum genap seperempat abad usiaku kala itu tapi panggilan "Ibu Bidan" sudah lebih dulu melekat di depan namaku.
Tekadku sudah bulat untuk
menjejakkan kaki di tapal batas negeri melalui Program Nusantara Sehat. Aku
rela meninggalkan kenyamanan di kota besar demi mengabdi di tempat yang nyaris
tak terdengar di tengah riuhnya pusat kota. Di sana tergantung harapan dan
tanggung jawab yang lebih berat dari awan mendung langit Kecamatan Nanusa,
Kabupaten Kepulauan Talaud yang saat ini sudah masuk wilayah Kepulauan Sangihe.
Atas dasar panggilan
nurani, aku langkahkan kakiku dengan mantap, menapaki jalan sunyi menjadi bidan
di pelosok negeri. Hari itu, panggilan itu benar-benar diuji. Oleh kenyataan
yang datang tiba-tiba tak bisa ditunda, karena taruhannya adalah nyawa, bahkan
dua nyawa sekaligus.
Antara Detik dan Detak Jantung
Malam itu tepatnya pukul
sepuluh, aku duduk gelisah di teras Puskesmas Karatung, sunyi tapi tidak damai.
Angin laut berembus pelan, dinginnya menyentuh wajahku dengan halus seakan
menyuruh untuk tetap terjaga dan benar-benar jadi bidan siaga seperti lagu yang
kami nyanyikan di Pelantikan Bidan, liriknya sederhana tapi sarat makna.
‘Jadi bidan siaga, siap
antar dan jaga.’
Dan malam itu pula, kalimat itu bukan sekadar lirik. Aku benar-benar jadi bidan siaga. Bersiap, menjaga dan diam-diam berdoa dalam hati agar paket harapan itu segera tiba. Karena di ruang bersalin kecil di ujung bangunan Puskesmas, dua nyawa sedang beradu dengan detikan jam.
Wanita hamil itu datang dengan tubuh kejang. Tatapan matanya kosong, seperti kehilangan arah. Nafasnya pendek-pendek.
“Eklampsia!” desisku nyaris tak bersuara, tapi
cukup membuat tim di Puskesmas turut panik.
Tak ada waktu untuk ragu, kami bergerak cepat ambil posisi
masing-masing. Aku dan rekan-rekan langsung memberikan penanganan awal eklampsia.
Dosis awal magnesium sulfat perlahan disuntikkan, berharap keajaiban bekerja
secepat mungkin. Sepuluh menit berlalu, pasien mulai sadar. Matanya mulai
terbuka, pandangannya sayu. Tubuhnya masih lemah. Kami tahu, ini belum selesai.
Serangan kejang susulan bisa saja terjadi. Dosis pemeliharaan harus segera
diberikan. Tapi disanalah masalah bermula. Stok magnesium sulfat kami nyaris
habis.Infus RL tinggal dua flabot terakhir.
Tiga hari lalu, kami menjumpai kasus serupa. Dan kini ketika pasokan
yang biasanya datang setiap tiga bulan belum juga tiba, kami dihantam kasus
gawat darurat yang sama. Entah mengapa eklampsia seakan memilih datang di waktu
yang tidak tepat, saat kami hampir tak punya stok persediaan obat.
Eklampsia bukan flu yang bisa ditunda penanganannya dengan teh hangat dan istirahat. Ini gawat darurat, taruhannya nyawa ibu dan bayi yang bisa hilang dalam hitungan detik.
Sepaket Harapan Dikemas Rapi dalam Kardus JNE
Aku hampiri petugas pendaftaran bagian depan dengan suara yang kutahan
agar tetap tenang, “Paket dari Manado sudah sampai pak?”
Yang langsung dijawab dengan gelengan kepala, “Masih di Tahuna bu, cuaca
buruk JNE belum bisa lanjut.” Ujarnya.
Aku menggangguk kecil sembari menghela napas panjang. Tak ada yang bisa
ku lakukan selain menunggu dan berdoa menyembunyikan gelisah yang mulai mengendap.
Tahuna, ibu kota Kabupaten Kepulauan Sangihe. Disanalah semua pengiriman
dari Manado harus singgah, termasuk paket kami yang biasa dikirim lewat JNE Sub
Agen Tahuna. Biasanya kurir JNE sat set datang lebih cepat untuk mengantarkan
paket kami. Namun hari itu, laut sedang tak bisa diajak kompromi. Angin dari
Laut Filiphina berhembus kencang seakan menunda segalanya. Dan aku hanya bisa
menunggu, berharap paket penyelamat jiwa itu segera tiba.
Satu-satunya harapan kami saat itu adalah paket JNE yang dua minggu lalu
sudah dipesan. Isinya bukan hanya sekedar obat dan alat kesehatan, melainkan penyambung
harapan bagi jiwa-jiwa yang rapuh. Paket itu dikirim dari Manado, menempuh
perjalanan panjang jalur darat hingga laut. Namun kini tertahan akibat cuaca
terlalu muram untuk sekadar memberi kepastian.
Rasa gelisah di benakku mulai membuncah hingga tak bisa mengambil posisi
duduk dengan tenang. Aku berlari sambil mengangkat ponsel hitamku tinggi-tinggi
ke udara berharap sinyal jaringan seluler berkenan singgah walau sebentar. Yap,
akhirnya ku temukan sinyal cukup kuat di dekat dermaga. Segera kuhubungi
satu-satunya orang yang mungkin bisa membawa secercah harapan ke pulau ini, Pak
Amat, kurir JNE langganan kami. Pria paruh baya itu senantiasa mengantarkan
paket dengan senyum ramah di wajahnya. Suaranya terdengar berat dari seberang
lautan.
“Bu Bidan, saya tahu ini penting. Tapi laut sedang tak bisa diajak
kompromi.”
Saya diam sejenak, lalu berkata dengan suara yang mulai pecah. “Pak
Amat, ini soal nyawa.”
Suasana hening, hanya desiran napas dan denyut panik menggantung diantara kami. Hingga suara Pak Amat seakan memecah kesunyian, “Baik bu, akan kami coba. Semoga Allah melindungi perjalanan kami.”
Pukul dua
dini hari kala itu, dermaga kecil di Karatung menjadi saksi bisu keberanian Pak
Amat menerjang cuaca yang menggila demi mengantarkan sepaket harapan kami. Perahu
motor yang ditunggangi Pak Amat mengangkut sebuah kardus besar bertuliskan JNE
YES. Isinya bukan sekadar paket kiriman biasa, ada obat-obatan, alat kesehatan,
cairan infus hingga harapan yang nyaris putus.
Tanpa sepatah
kata, Pak Amat buru-buru membawa paket itu ke Puskesmas. Tak ada waktu lagi
untuk ragu, berpacu dengan detik memang semenegangkan itu.
Beberapa
menit kemudian, dosis lanjutan magnesium sulfat berhasil kami berikan. Di
ruangan sempit beraroma antiseptik itu, napas yang semula tersenggal perlahan kembali
tenang. Ada hidup yang terselamatkan malam itu. Bukan hanya karena keajaiban,
tapi keberanian untuk melawan rasa takut.
Tangisan yang Membelah Malam
Beruntung
saat itu tekanan darah ibu perlahan mulai turun. Kondisinya mulai stabil meski
tubuhnya masih tampak lemah dengan balutan raut wajah yang pucat. Ia datang dengan
pembukaan delapan sentimeter, cukup memungkinkan untuk dilakukan persalinan per
vaginam di Puskesmas Karatung.
Melakukan
rujukan ke rumah sakit besar, rasanya bukan pilihan yang tepat. Butuh waktu
sekitar 6 jam untuk kami dapat menjangkau fasilitas rumah sakit terdekat. Itu
pun jika cuaca mendukung. Waktu terlalu sempit untuk berpacu dengan dua nyawa
diujung tanduk. Bayi harus segera dilahirkan. Kondisi eklampsia sebelumnya sudah
cukup membuat bayi stress didalam rahim akibat kekurangan oksigen. Kami mantap
mengambil keputusan untuk dilakukan pesalinan per vaginam dengan bantuan vakum
ekstraksi.
Kami bekerja dalam diam namun penuh kegelisahan. Berpacu dengan detik,
berjuang merengkuh dua nyawa dalam satu waktu. Tangan-tangan hangat yang sudah
terbiasa menyentuh kehidupan kini bergerak cepat dengan penuh hati-hati. Di
ruang bersahaja yang hanya diterangi lampu seadanya, peluh kami bercampur
harap. Setiap detik terasa seperti menahan napas di tepi jurang.
![]() |
Dokumentasi pribadi di Puskesmas Karatung tahun 2015 |
Tepat pukul tiga dini hari, tangisan itu pun pecah menembus keheningan malam diantara napas yang tersenggal. Suara tangisan kecil namun nyaring yang jadi penanda bahwa satu jiwa baru saja lahir di dunia dengan selamat, dan satu lagi masih harus dijaga sepenuh jiwa.
Tubuh ibu masih lemah, tapi
matanya basah oleh haru. Ditengah segala keterbatasan, ia dan bayinya berhasil
melewati malam panjang penuh perjuangan antara hidup dan mati. Persalinan
berjalan dengan lancar. Semua berkat doa harapan dan kerjasama yang hadir
dengan sepenuh hati.
Di depan teras Puskesmas
Karatung, Pak Amat masih duduk menunggu cuaca membaik untuk kembali pulang.
Segera ku hampiri beliau sembari menyambutnya dengan senyum yang tulus.
“Terima kasih Pak Amat, Ini lebih
dari sekadar paket. Ini penyelamat jiwa.”
Pak Amat lalu tersenyum, “Alhamdulillah,
JNE cepat bukan karena motor, Bu. Tapi karena doa dan harapan orang-orang
seperti ibu yang menggerakkan kami untuk lebih sat set.”
Aku tersadar, nyatanya semangat ‘JNE
SatSet’ bukan hanya sebuah slogan. Melainkan gambaran dari jiwa yang tulus
bergerak melaju menembus gelombang dan badai demi sebuah kehidupan.
Pahlawan Tanpa Sorotan
Di teras negeri yang jauh dari sorotan kamera dan hiruk pikuk kota,
hidup dan mati sering kali hanya dipisahkan oleh satu hal yaitu keberanian.
Dibalik seragam sederhana dan wajah-wajah yang lelah, para tenaga kesehatan menjadi
penjaga garis akhir, menahan nyawa agar tak tergelincir pergi terlalu cepat.
![]() |
Dokumentasi pribadi di Puskesmas Karatung tahun 2015 |
Namun, mereka tidak sendiri. Di tengah badai antara jarak dan waktu, ada tangan-tangan lain yang bekerja dalam diam yaitu kurir JNE seperti Pak Amat yang membawa lebih dari sekadar paket. Mereka mengantarkan harapan, membawa peluang hidup yang dibungkus rapi dalam kardus dan tiba tepat saat waktu nyaris kehabisan napas.
Kisah ini bukan hanya tentang cerita heroik suatu malam. Melainkan sebuah potret kehidupan para pahlawan yang jauh dari sorotan media, tak pula disebut dalam pidato kenegaraan. Kami membuktikan bahwa dengan hati, kerjasama dan keberanian, hidup bisa terus berlanjut meski jarak dan badai jadi hambatan.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung ke blog bidan Anisah, Semoga bermanfaat :)